Jumat, 12 Juli 2013

Jangan Tunda Lagi !

Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan melakukan amal sholeh dan nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran (Qs. Al Ashr: 1-3)
Menjelang perang Tabuk, Rasulullah menjelaskan kepada kaum muslimin untuk bersiap-siap menghadapi perang yang akan datang pada musim kemarau nanti. Perang kali ini dipersiapkan secara matang, melihat musuh yang lebih besar dibanding perang sebelumnya. Persiapan kaum muslimin sudah mulai terlihat, salah satunya adalah Ka'ab bin Malik r.a. yang tengah mempersiapkan kendaraan untuk tugas mulia itu.
Tiba-tiba datang rasa malas pada dirinya, sesampainya dirumah seharusnya ia sudah mempersiapkan sejaga perlengkapan perangnya, seperti baju atau senjata. Namun Ka'ab tidak berbuat apa-apa. Dalam hatinya ia berkata, "saya dapat mengerjakannya sewaktu-waktu." Sikap malas ini berlarut-larut, ia tetap malas beranjak dari rumahnya. Padahal kaum muslimin bersama Rasulullah sudah siap berangkat, menuju medan perang.
Melihat itu Ka'ab membatin, "saya akan mempersiapkan diri sebentar lagi." Sayangnya ia tetap tidak beranjak, padahal rombongan Rasulullah telah berangkat, berjihad melawan kaum kafir. Tidak juga Ka'ab maju ke-medan laga, dan kembali berkata kepada dirinya sendiri, "saya pasti akan dapat menyusul mereka."
Sampai akhirnya rombongan telah jauh menuju garis depan, dan Ka'ab tidak lagi dapat menyusul mereka. Bertapa menyesal-nya hati Ka'ab, sementara kaum muslimin bertaruh nyawa, ia hanya duduk penuh penyesalan. Di rumah Ka'ab jadi serba salah, tak ada seorangpun yang mau berteman dengannya, karena sikapnya yang tidak mengikuti perintah Rasul. Hati Ka'ab semakin sengsara dan amat sangat menyesal, karena tidak ikut berjihad dengan berperang di jalan Allah.
Ketika kaum muslimin menuai kemenangan perang Tabuk, dan pulang dengan wajah yang penuh rasa syukur dan suka cita, penyesalan yang tak terhingga menyelimuti hati Ka'ab. Andai kata ia tidak mengikuti hawa nafsunya, tentu saat ini limpahan pahala Allah akan ia rasakan, bukan kekecewaan karena penyesalan.
Berat dan malu hati Ka'ab untuk bertemu Rasulullah. Ia bisa saja mengatakan berbagai alasan kepada Rasulullah, nisamya beralasan udzur (tidak mampuh karena fisik) atau apapun yang bukan sebenarnya, dan ia yakin Rasulullah akan percaya, tetapi itu tidak dilakukannya. Ia sudah siap menerima resiko apapun, karena kenyataan, ia memang menyepelekan perintah Rasul, menunda-nunda pekerjaan, dan menyepelekan-nya. Karena memang baru kali ini ia melakukan perbuatan tercela. Setelah mendengar pengakuan jujur Ka'ab yang tidak syar'i, selanjutnya Rasulullah melarang para sahabatnya untuk berbicara kepada Ka'ab.
Maka mulailah orang-orang menjauh dari Ka'ab, sehingga berubahlah suasana kota Madinah bagi Ka'ab, seolah-olah ia adalah orang asing dalam keramaian itu. Menangislah Ka'ab sejadi-jadinya. Penyesalannya tiada berguna.